[REVIEW FILM] Penantian Menonton Kuldesak (atau Pistol 3/4) Setelah 20 Tahun Berlalu

Ketika saat ingin menonton film Milly dan Mamet (spin-off dari AADC Universe, gila ini film superhero apa rom-com perlu ada spin-off), saya kaget setelah melihat poster film ini

IYA, ANDA TIDAK SALAH MELIHAT 

Sekedar menarik ingatan, tahun 1998 merupakan salah satu tahun paling kelam yang pernah dimiliki Indonesia. Tahun yang dikenal sebagai masa pergantian rezim dari Orde Baru ke era Reformasi. Kondisi film Indonesia pada saat itu jauh lebih parah lagi, TIDAK ADA SATUPUN FILM DALAM NEGERI yang MASUK TEATER 21 (PENGUASA JARINGAN BIOSKOP SAAT ITU, KINI SUDAH DIIMBANGI CINEMAXX dan CGV). Saking kelamnya, semua orang menjadi tegang sehingga kreativitas merupakan jalan satu-satunya untuk pelepas ketegangan (selain seks dan atau mimpi basah, tentunya).

Bioskop Empire 21 (sebelum terbakar) bulan November 1998 pada salah satu pojok tempat parkirnya, berdiri tegak sebuah poster film dengan judul "KULDESAK". Sebuah kata baru bagiku, yang saat itu kelas 2 SD. Aku tertarik dengan film itu selain kata yang tidak umum itu (apa jangan-jangan sedari kecil aku ini bakat hipster?), juga kalimat "propaganda" di poster itu bahwa ini adalah menandakan kebangkitan film Indonesia yang mati suri pada dekade 1990'an (sebenarnya tidak terlalu mati suri juga, bioskop esek-esek masih banyak memutar film-film esek-esek era dekade 1990'an). Kebangkitan yang ditandai sebuah film yang sebenarnya cukup berat secara tema dan aliran (genre) karena mereka memilih metode omnibus di dalam menyajikan ceritanya. 

Trailer Film Tersebut, seperti yang kita lihat di TV Indonesia waktu itu.

Saat itu, sebenarnya saya merengek ingin menonton film ini kepada orang tua saya. Tentu saja mereka melarang secara tidak langsung karena menganggap film ini tidak cukup umur untuk usia saya dan menganggap aneh anak seusia saya menonton film seperti ini. 

Dua puluh tahun berlalu, kemudian terdengar kabar bahwa Kuldesak akan ditayangkan ulang untuk memperingati 20 tahun rilisnya (sebenarnya film ini dirilis 27 November 1998, tetapi sengaja dipilih akhir tahun karena dianggap waktu yang tepat untuk orang-orang menghabiskan uang menikmati pergantian tahun (ciee paham market strategy......)). Saya langsung tidak sabar menunggu 30 Desember 2018 untuk segera menonton film ini.

Sebuah film yang, menurut saya, merupakan interpretasi lokal dari Trainspotting, Pulp Fiction, Natural Born Killers, dan Clerks dalam versi empat sutradara Indonesia (Nan T Achnas, Mira Lesmana, Riri Riza, Rizal Mantovani) dengan budget yang menyesuaikan kondisi saat itu. Sebuah interpretasi Generasi MTV (Generasi X), generasi yang saat itu digembar-gemborkan sama seperti gembar-gembor Millennial (Generasi Y) saat ini. Sebuah generasi yang, seperti seluruh propaganda generasi ke generasi, di-plot sebagai calon pemimpin masa depan (dan terbukti 20 tahun ke depan sudah banyak pemimpin yang lahir dari Generasi X (kelahiran 1964-1980)). Hal ini sebenarnya terlihat jelas dari banyaknya easter egg yang ada di dalam film tersebut mulai dari poster hingga banyaknya dialog yang membawa film-film tersebut (Spoiler alert)! 

Langsung saja pagi 30 Desember 2018 saya memutuskan untuk menunggu jam 12:00 karena itulah waktu paling efisien untuk menunggu show kedua (entah kenapa dipilih jadwal show kedua sebagai waktu pemutarannya). Saat sampai di Empire XXI, saya melihat ada dua jadwal Show : 14:15 dan 16:35. Untuk jam 14:15 sebenarnya masih ada kursi tersisa. Sayang, kursi yang tersisa hanya menyisakan deret bangku paling depan. Tradisi yang saya pegang untuk menonton film adalah hindari bangku depan karena terlalu dekat dengan layar dan sebisa mungkin dapatkan kursi yang ada di pojokan (B 16 atau 17). Karena di deret itu kita dapat menyandarkan kaki tanpa mengganggu penonton yang ada di depan kita . Sungguh suatu strategi cerdas yang tidak pernah dipikirkan :)) Oleh karena ketiadaan tempat duduk, saya memutuskan untuk memilih show selanjutnya (Show ketiga, berarti film ini juga menarik minat pecinta film lokal di DIY. Suatu kebanggaan ternyata saya tidak sendiri saja dalam menikmati film ini) 

Sembari menunggu, saya memutuskan ke Gramedia Jenderal Sudirman dan mengambil foto suasana baru pedestrian di sekitar kawasan Kotabaru (yang menurut saya cukup artistik karena ada faktor simetris). 

Contoh foto yang saya ambil dengan memakai prinsip perspektif titik (makin fokus ke dalam makin mengecil)

Contoh lain, mencoba dengan mengambil konsep kesimetrisan serta perspektif fokus.

Contoh yang sama. Sayang dua foto di atas setelah saya cek dengan menggunakan align center, terlihat asimetris. Wes Anderson sangat tidak menyukainya (hiks).

Menjelang pukul 16:35, saya memutuskan untuk langsung kembali ke Empire XXI dengan menerobos suasana kota Yogyakarta yang tengah turun hujan. Sesampainya di Empire XXI, saya menunggu di Studio 5 tempat film akan diputar. Begitu jam menunjukkan 16:35, saya langsung masuk ke dalam studio dan menempati kursi yang tertera pada karcis. Saya mengamati penonton yang datang dan mendapat fakta mengejutkan : terdapat orang tua dan anak-anak yang kemungkinan lahir setelah film ini keluar. Untuk orang tua, yang sangat tua, saya curiga bahwa mereka adalah penggemar film atau menemani anggota keluarga mereka yang lain yang memaksa untuk ditemani. Sedangkan untuk anak-anak, saya lebih memilih kecurigaan ini sebagai indoktrinasi dari orang tua mereka melalui film yang dianggap sebagai pembuka jalan ini. Sebelum film dimulai, rupanya listrik di studio 5 sempat padam. Suatu kejadian yang memalukan yang beruntungnya tidak terjadi di tengah pemutaran film. 

Film dimulai. 

Adegan pertama adalah adegan tanda dilarang masuk (seperti yang ada di dalam poster film) yang kemudian berfokus pada seorang perempuan (Ira Wibowo) yang kabur dikejar oleh dua orang berpakaian ala preman. Ia kemudian terdesak pada suatu jalan buntu (Cul-De-Sac?) dan ketahuan oleh dua orang tersebut. Dor. Suara peluru terdengar. Ia tertembak. Matilah. 

Adegan selanjutnya adalah awalan filosofi omnibus (anthology) ini. Dina (Oppie Andaresta), seorang petugas pelayan tiket bioskop. Sekedar informasi, bioskop 21 zaman dulu memiliki sistem tiket yang mirip stasiun kereta zaman sekarang yaitu ada jendela yang memisahkan pembeli dan penjual serta ada microfon yang digunakan oleh pembeli. 

Kurang Lebih Seperti Ini

Ia menghadapi berbagai macam tipe pembeli film bioskop. Mulai dari oom gatal yang selalu mengajak pasangan yang berbeda setiap kali menonton film, seseorang yang percaya takhyul (hanya mau duduk di kursi B8), hingga pemabuk yang merusak kertas lembar kursi yang dipakai sebagai dokumentasi kursi mana saja yang telah dipesan (sebagai info, zaman itu sistem komputerisasi apalagi penggunaan alat debet/kredit belum dipakai sehingga semua serba manual. Dan inilah unsur komedinya mulai masuk). 
Setiap hari, ia terbuai di depan televisi menyaksikan seorang pembawa acara nyentrik bernama Max Mollo (Dik Doang). Ia terbuai bagaimana Max Mollo dengan karisma uniknya membawakan acara tv tersebut dan berkhayal suatu saat ia bisa bertemu dengan idolanya. Semacam psychological complex yang sebenarnya juga masih ada di era Millennial kini, meskipun sekarang mediumnya adalah media sosial (dan saya pun juga mengalami fase serupa)
Suatu hari, ia kedatangan dua orang tetangga baru. Dua orang lelaki yang tinggal di dalam satu rumah petak kecil khas Jakarta (secara tidak sadar, film ini juga mengangkat tema kelas pekerja bawah yang ada di Jakarta saat itu (mungkin sekarang juga?)). Hal yang membuat saya salut adalah, kita sebenarnya menebak secara tidak langsung bahwa dua orang lelaki tersebut adalah homoseksual, tanpa Dina atau tokoh lain dalam sketsa ini mengucapkan sama sekali kalimat terlarang tersebut (sampai sekarang). Ditambah, keberanian mengangkat tema homoseksual pada tahun itu adalah sama beraninya dengan personel Pas Band yang memakai kata "f**K' pada lagu "Old Fashioned Sickness" di dalam album debut indie mereka "4 Through the SAP". 
Selain itu, hal yang realistis di dalam film ini adalah kita tidak melulu diperlihatkan mengenai landskap Jakarta yang kontras (ada yang mewah sekali ada yang proletar sekali, seperti Brazil) secara lebay. Semua disajikan secara apa adanya dan natural. Tidak seperti sinetron saat ini. Semua adegan sangat terlihat metropolitan dengan hanya berfokus pada kemegahan gedung yang kemudian diselingi sumber kemakmuran tanpa ada pesan apapun. 

Hal serupa juga terjadi pada omnibus selanjutnya, Aksan (Wong Aksan) seorang anak pemilik tempat penjualan dan penyewaan laser disc (semacam kepingan cakram CD dan DVD, tetapi ukurannya mega gaban) yang terobsesi untuk membuat film tetapi ditolak oleh ayahnya. Ia selalu dihasut oleh karyawan ayahnya yang ambisius tetapi medok, Aladdin (Tio Pakusadewo) untuk merampok uang kas penyewaan laser disc tersebut. Ada satu easter egg unik di sini, Aladdin berargumen bahwa untuk membuat film Indonesia yang berkesan baru dan modern, Aksan harus keluar dari bayang-bayang sutradara tua dan mapan saat itu termasuk Garin Nugroho (yang menyutradarai "Cinta Dalam Sepotong Roti", salah satu film yang dibintangi Tio sendiri). 

Aksan (Wong Aksan) 

Yang semakin unik lagi adalah, omnibus Aksan ini sebenarnya adalah metafor dari para pembuat film Kuldesak ini terhadap kondisi perfilman saat itu di mana mereka mengalami kesusahan dalam menjadi sutradara muda.  Suatu kondisi yang tercipta oleh pemerintahan semi-fasis Orde Baru (yang dimetaforkan sebagai sosok bapak pemilik penyewaan laser disc). Adapun tokoh Aladdin yang medok sendiri sebenarnya adalah metafor dari semangat menggebu akan tetapi kurang wawasan. Berbeda dengan Aksan yang tidak medok, bahasa Inggrisnya bagus tetapi penuh perhitungan sehingga agak ragu-ragu dalam mengambil keputusan. 

Aladdin (Tio Pakusadewo) Trying to Convince Aksan (Wong Aksan)


Omnibus selanjutnya adalah kisah Andre (Alm. Ryan Hidayat). Ia selalu memersonifikasikan dirinya bagai Kurt Cobain versi Indonesia. Dengan VW Camper (van, tanpa Beethoven) miliknya, ia selalu menyusuri malam Jakarta yang sepi khas 90'an untuk mencari jati diri. Ia merupakan anak hasil produk broken home akan tetapi agak manja. Ia hidup dengan fasilitas pemberian orang tua dan kerabatnya (ia hidup dengan uang ibunya yang saat itu pergi ke Tokyo ketika ia ulang tahun). Mudah ditebak, ia adalah sosok yang sebenarnya rindu perhatian dan kasih sayang sehingga mengalihkan kesedihannya ke dalam musik dan merasa terhubung dengan Kurt sehingga ingin menjadi Kurt KW ke sekian. Sesuatu yang tidak pernah disadari oleh pendidik yang tergabung dalam serikat PGRI. 


Andre (Alm. Ryan Hidayat), ya setidaknya kita punya Kurt Cobain juga lah. 

Suatu hari, ia bertemu dengan seorang gelandangan mini market cum peramal (entah ini khayalan Andre sendiri atau memang demikian adanya) Hariolus (Iwa K, saya akui inilah tata rias wajah yang sempurna. Kita tidak sadar bahwa sebenarnya sang peramal adalah Iwa K karena jenggot yang dimilikinya benar-benar menyatu dengan wajah) yang selalu ditemani oleh seekor burung hantu (yang sebenarnya juga khayalan si Hariolus dan Andre sendiri). 

Hariolus (Iwa K) melihat ke Andre (alm. Ryan Hidayat). Tata rias Iwa K menjadi gelandangan Harilous sungguh apik !


Suatu malam. Hariolus secara nyeleneh meramal Andre melalui media gelas kopi yang usai diminum oleh Andre sendiri. Ia meramal bahwa ada aura positif setelah Andre menemukan suatu benda pada keesokan harinya. Bagi orang waras manapun, pastilah curiga bahwa Hariolus ini tidak hanya cum peramal, ia cum orang gila. Tetapi tidak dengan Andre, ia percaya dengan Hariolus karena menganggap bahwa apapun yang ia katakan selalu tepat. Selain itu, Andre sendiri sangat percaya kepada Hariolus karena ia mengganggap Hariolus adalah orang yang tidak akan menuduh Andre anak manja karena fasilitas yang dimiliknya. 

Berikutnya adalah Lina, seorang karyawati perusahaan milik Jakob Gamarhada (Toro Margens, sang aktor spesialis antagonis). Seseorang yang mencitrakan dirinya sebagai seorang yang menghidupi perusahaannya dengan cara halal. Suatu hari, ia harus dipaksa lembur oleh atasannya karena Ngelunjak saat rapat di depan Jakob. Rupanya tradisi orang ngelunjak dan kondisi kantor yang membosankan sudah ada sejak zaman dulu. Pun, kita akan tertawa jika menyaksikan dialog di dalam film ini karena jauh sebelum trend Jaksel (sok Indonesia-Inggris) rupanya sudah ada sejak dulu. So Hipster. 

Ketika malam menjelang dan Lina (Bianca Adinegoro) sedang menunaikan ibadah lembur akibat dihukum atasannya sendiri, tanpa sengaja seorang stalker pria asing datang dan langsung memerkosa dirinya. Bodohnya, cincin milik Jakob tanpa sengaja tertinggal di meja Lina. Lina sendiri pun absen masuk kantor selama tiga hari. 

Salah satu easter egg yang bisa kita temukan adalah diputarnya lagu Pas Band "Impresi". Hubungannya? Rupanya sang penculik tidak lain tidak bukan adalah Yukie Martawijaya, vokalis Pas Band (yang sekarang kabarnya sudah hijrah). Rupanya, tidak hanya Disney dan Pixar yang terobsesi easter egg.  Empat sutradara ini juga terobsesi dengan easter egg. Sesuatu yang sebenarnya biasa saja pada tahun-tahun itu, akan tetapi menjadi heboh belakangan ini. Ahead of their time, maybe

Selain itu, terdapat merchandise berupa MTV Man on the Moon yang ada di kamar Lina yang menandakan, saat itu, Bianca Adinegoro merupakan seorang VJ MTV (atau ini film tentang MTV Generation sendiri? Karena di kamar Lina atau di kantornya terdapat buku dengan sampul bertuliskan Generation X, fokus utama film ini yang disamarkan melalui easter egg).

Berselang beberapa menit film berjalan, terdapat tiga orang pemuda-pemudi nyeleneh Sofi (Sophia Latjuba), Maya (Maya Lubis) dan Ceki (Bucek Depp). Pemuda-pemudi yang menurut hemat saya lebih mirip Deee-Lite (penyanyi "Groove is in the Heart") dengan format dua cewek satu cowok (entah ini simbol apa lagi) dan berbahasa proto-English Jaksel (lagi-lagi hipster, ini sebenarnya film hipster ya?). 
Deee-Lite 

Maya (Maya Lubis) dan Sopi (Sophia Latjuba). Kalau seperti ini, mirip Vincent Vega dan Jules Winnfield versi cewek. 

Entah karena saking mabuk ditambah terobsesi dengan Pulp Fiction (seperti yang saya bilang sebelumnya, mereka dengan pintar memasukkan beberapa easter egg dalam adegan yang sebenarnya receh tetapi itulah filosofi film ini), mereka memutuskan untuk merampok Laser Mania, tempat di mana Aladdin dan Aksan juga akan melakukan hal serupa.

Kembali ke Laser Mania, rencana Aladdin dan Aksan untuk mencuri dari brankas milik ayahnya, yang disamarkan di balik sebuah poster film (yang pasti ada simbol atau metafor di baliknya), nyaris berjalan sempurna. Mereka telah berhasil meracuni satpam penjaga malam sehingga ia hanya tinggal tertidur. Sayang, dua perampok yang punya satu tujuan sama ini (merampok) bertemu dan mengalami konflik horizontal alias bersaing siapakah yang berhak merampok. Semakin berjalannya film, adegan yang ada dalam sketsa ini lebih mirip dark comedy. Bukan a la Tretan Muslim, tetapi lebih ke arah menertawakan satu kelompok perampok yang mempunyai tujuan kotor malah harus berhadapan dengan kelompok perampok lain dan yang lebih lucu lagi sebenarnya Aladdin tidak ingin ia dan Aksan yang merampok, akan tetapi ia ingin mempekerjakan orang lain (outsourcing robbery) supaya tidak membuat curiga ayahnya Aksan selaku pemilik tempat usaha tersebut. 


Kembali ke Dina, pada suatu hari ia melihat Max Mollo membeli tiket di bioskop tempatnya bekerja. Ia secara diam-diam mengamati tingkah laku Max Mollo sebelum masuk ke teater. Kemudian, ia berhasil menyelinap masuk ke dalam teater dan diam-diam berusaha duduk di sebelah Max Mollo. Tak jauh dari situ, dua pasangan gay tetangga Dina, Budi (Harry "Dagoe" Suharyadi) dan Yanto (Gala Rostamaji) juga duduk menonton film yang sama. Menyadari ada tetangga yang menonton film yang sama (untuk zaman sekarang, sudah jarang ada peristiwa seperti ini bagi anak millennial), Budi, Yanto, dan Dina jadi sering main bersama (sebenarnya mereka mengenal satu sama lain ketika di dalam bis, akan tetapi momen di dalam bioskop ini meningkatkan keakraban mereka). Mereka jadi sering bermain satu dengan yang lain (entah bagaimana mereka berjanji saat itu ketika media komunikasi seperti Handphone yang memiliki fasilitas SMS dan atau WA belum ada. Akan tetapi, inilah yang menjadi unik di film ini ketika ditayangkan 20 tahun kemudian ketika kita semua secara tidak sadar sudah mulai berada di alam telekomunikasi). 

 

Saya bingung, Mereka di tahun itu termasuk Hipster atau Mainstream? Busananya sederhana tetapi mengena dan sangat terlihat fashionable ?


Momen yang menurut saya paling berkesan adalah ketika mereka bertiga menghadapi pemuda-pemuda liar yang menggoda Budi dan Yanto dengan memanggil mereka "BANCI" (untung saja waktu sketsa ini dibuat pada tahun 1996 belum ada FPI dsb. Amit-amit). Secara tidak sadar, mereka telah berkampanye sosial (belum ke arah SJW) mengenai hak kesetaraan LGBT jauh sebelum Gedung Putih menghiasi pilarnya dengan background rainbow flag

Salah satu hal yang menarik dari sketsa si Dina ini adalah, bagaimana Dina dan Budi saling mengungkap masa lalu mereka yang membentuk mereka seperti ini. Bagaimana Dina yang selalu diperlakukan tidak adil oleh orang tuanya sehingga ia berimajinasi dengan pembawa acara di TV dan bagaimana Budi yang diperlakukan sama juga (lebih jauh lagi terungkap dia menjadi homoseksual karena ia sebenarnya korban pedofilia). Suatu hal yang berani mengingat di tahun 1997, salah seorang penjahat pedofilia bernama Robot Ghedek dijatuhi hukuman mati. Lama-lama saya berpikir kenapa ya penyimpangan sosial yang berada di masyarakat menengah ke bawah selalu mudah terungkap dibandingkan yang menengah ke atas meskipun sebenarnya itu adalah hak pribadi masing-masing, iya kan? 


Andre kemudian terbangun pada pagi hari setelah melakukan pesta moshing di suatu kafe  (kemungkinan ia overdosis ketika mengkonsumsi alkohol) dan tanpa sengaja ia bertemu dengan seorang tua yang membereskan sisa kegiatan kafe semalam yang memberinya sebuah benda yang dibungkus karton makanan (yang ketika dibuka ternyata sepucuk pistol genggam). Ia kaget. Ternyata, personifikasi yang ia lakukan dengan meniru Kurt Cobain semakin mendekati kenyataan meskipun ia belum memiliki pendamping hidup. Ia pulang menuju ke rumah (atau kosannya) dan bermain-main dengan pistol tersebut sembari melihat berita tentang terbunuhnya Kurt Cobain. Semakin lama, ia semakin yakin bahwa jalan ninja Kurt Cobain adalah jalan hidupnya. PERHATIAN! BUNUH DIRI, SEPERSONAL APAPUN TETAP BERBAHAYA

"Aku Bagai Buih Di Laut Biru, Tersapu Ombak Terhempas Badai.............."

Kembali ke laptop Lina, ketika masuk ia menghadapi setumpuk pekerjaan dan pertanyaan mengenai barang bukti berupa cincin yang tertinggal di meja. Ia semakin yakin karena mendapatkan bayangan bahwa itu adalah cincin yang dipakai pelaku pemerkosa. Tanpa sadar, ia ditelfon oleh seseorang yang mengaku sebagai pacarnya dan memintanya untuk bertemu di basement. Entah secara kebetulan, pacarnya datang ke kantornya karena ia mengaku tidak mendapatkan kabar sama sekali dan ia kaget karena mendapat kabar bahwa pacarnya ada di basement bawah karena telah ia kabari sebelumnya. Lebih kaget lagi bahwa yang memberi kabar adalah anak buah dari sang bos, (Toro Margens, spesialis antagonis). 

Dan yang paling membuat kaget adalah, ia telah melakukan hal ini dua kali terhadap perempuan yang bekerja di kantornya dan ia berani melawan hukum yang ada di negeri ini sehingga ia tidak segan menembak siapapun yang mau keluar. Anda curiga bahwa ini tidak berbau metafor sama sekali? Bos pemilik perusahaan sukses yang ternyata memiliki skandal di perusahaannya dan menutup skandal tersebut dengan jalan kekerasan? 

 
Tatapan Lina yang siap menembak bosnya sendiri (spoiler alert !)

Dua Tiga Sebutir Telor, Situ Mau Saya Dor ? 


Secara lanjut, saya tidak ingin terlalu jauh membahas cerita film ini karena malah membongkar filmnya (SPOILER ALERT). Inti setelah saya menonton film ini adalah satu : saya belajar bahwa Tuhan itu memang adil. Bagaimana? Ia paham kalau saya menonton film ini ketika usia saya kelas 2 SD, saya bukannya menikmati film ini malah justru mengganggu karena terlalu banyak bertanya dan memang film yang ditayangkan bukan untuk usia saya (untung di zaman sekarang ada anjuran menonton film sesuai usia meskipun ada juga yang membawa anak kecil ke dalam teater ini). Ia membalas keinginan itu pada 2018 ini, suatu tahun yang penuh dengan roller coaster di hidup saya. Suatu tahun yang menurut saya seperti karet ketapel yang merenggang ke belakang. Semoga karetnya kembali ke posisi semula sehingga saya sebagai beban katapel tersebut bisa meloncat ke atas kembali. 

Untuk film ini, banyak yang menilai sebagai tonggak dan pembuka jalan. Secara objektif saya beri nilai 8,75 dari 10. Masih banyak adegan yang saya lihat dibuat tidak sempurna (karena kondisi zaman pada saat itu sangat tidak mendukung film ini dibuat). Tetapi saya yakin, suatu saat nanti DVD atau Netflix dari Kuldesak ini pasti terjual (meskipun kabarnya ini adalah film yang lebih cocok diputar dalam festival film). Lalu kenapa saya beri judul tambahan Pistol 3/4? Karena 3 dari 4 kisah di film ini berakhir dengan pemakaian pistol sebagai jalan terakhir untuk penyelesaian masalah. 

Sebenarnya saya hanya berharap satu : APAKAH ADA FILM SERUPA UNTUK KITA, GENERASI MILLENNIAL (GENERASI Y) yang dianggap SUDAH ADIKSI TERHADAP DUNIA MAYA dan GADGET?  Jujur saya bosan melihat pembenaran stereotip Millennial dari latar belakang film yang ada.




Komentar

Postingan Populer